mailis cikeas@yahoograoups.com
13 September 2008
Ass wr wb
Selama bulan Ramadhan saya absen dalam berselancar di dunia maya.
Namun cucu saya Muammar Qaddhafi yang sementara ada di Makassar dan
saya jadikan sekretaris pribadi saya buat sementara, yakni selama MQ
di Makassar, datang melapor menjelang terbit matahari, bahwa tatkala
membuka mail-box saya MQ mendapatkan tulisan Ulil Absar Abdalla yang
perlu ditanggapi. Karena saya tidak menyediakan waktu untuk itu, saya
amanahkan kepadanya untuk memilih dari serial artikel saya yang cocok
untuk menjawab tulisan UAA tersebut. Dan hasilnya MQ memilih Seri 001,
002, 003 dan 419 dan membuat khulasah seperti berikut:
"Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan
pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya
untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan
pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung
pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan
dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik
dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun
dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan
dialaminya. Dengan demikian akal itu sifatnya relatif juga, baik untuk
memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya
sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur
(ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh
dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan
mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai
melalui filsafat ataupun tasawuf
Ada moralitas yang tidak bersumber dari akar sejarah, melainkan
bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq yang dibawakan oleh para Nabi
dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi adalah taqwa. Ketaqwaan memegang
peranan yang sangat penting dalam mengkaji masa lalu. Orang yang
berpikiran jernih akan mengatakan bahwa perombakan sistem
sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan oleh ajaran akhlaq
dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu untuk hari esok."
Silakan menyimak dan menikmati artikel yang di bawah
Wassalam
HMNA
************ ********* ********* ********* ********* ********* ********* ********* ********* ********* ********
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
001. Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat
kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/ mineral,
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb
mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan
berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur)
mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru
dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet,
gaya kuat dan gaya lemah. Medan gravitasi utamanya mengontrol
makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain
mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton
(bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti
atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya
kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya
Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan
mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut
pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula
tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak;
kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu
bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada
binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan
perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan
pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut
kemauannya atas dorongan nalurinya. Dari segi naluri ini manusia tidak
ada bedanya dengan binatang, yaitu naluri mempertahankan jenisnya.
***
Allah meniupkan ruh ke dalam nafs (diri, jiwa) manusia, yang ada di
dalam jasmani manusia. Ruh, dan nafs ini yang tidak diberikanNya
kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia
mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu nafs. Dengan ruh manusia mempunyai
kesadaran akan wujud nafsnya. Nafs mempunyai kekuatan yang disebut
akal, Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan
dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat
merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym"
(95:4), sebaik-baik bentuk dalam tiga tataran: ruhani, nafsani dan
jasmani. Dalam ilmu orang "kampung" jasmani disebut rupa tau (wajah
lahir manusia), nafsani disebut ilalanganna taua (diri di dalam rupa
tau) dan ruhani disebut maqnassa tau (manusia yang sesungguhnya) .
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan
pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya
untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan
pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung
pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan
dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah
akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil
olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang
hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar
jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang
diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal
manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan
mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam
informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan
relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk
merenung baik buruknya sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur
(ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi
Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah
beliau Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta
kepada Allah:
-- Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang
lurus. Maka Allah menjawab:
-- Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKitaabu laa Rayba fiyhi Hudan
lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), itulah Kitab tak ada keraguan
dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (2:1-2). Al Quran yang tak ada
keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang
perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri
dengan kekuatan akalnya:
-- 'Allama lInsa-na Maalam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar
manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh
dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan
mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai
melalui filsafat ataupun tasawuf:
-- Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari
Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui
manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin
dapat menyentuh alam ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa
filsafat dan tasawuf itu adalah:
-- "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn" . Filsafat
dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab
kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar.
Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat
dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang
naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu
berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab,
merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal
filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia
untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan
kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam
golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
-- Hudan lilMuttaqiyn" , demikianlah wahyu itu menuntun akal para
Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafa t dan
merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu
filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman,
singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
*** Makassar, 20 Oktober 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/001-peranan- wahyu-dan- akal-dalam_ 7327.html
============ ========= ========= ===
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
002. Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat
Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran
agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik,
haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami
wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi
yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun
sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum,
baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu
tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal.
Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang
tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan
pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu
membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan
mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah
dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan
tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan
jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari
binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra,
Jibril yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu
ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan
naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di
dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan
identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam
mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular:
'ubudiyyah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan
langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini
sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau
diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang
identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam
bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat:
semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan
Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang
mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam
istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya
sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian:
Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak
dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya
pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi
kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu
hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana,
berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan:
mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib
diperintahkan dalam bulan Ramadhan?
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat
hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta
memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang
baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk
berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat
hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara
sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amalaat
(mufrad: mu'amalah) untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat.
(Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai
kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita
sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan
ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas pengertiannya
dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Seperti
misalnya membuang beling dari jalanan itu adalah ibadah yang
mu'amalah, jika diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena
penampilan, berbuat baik kepada sesama manusia supaya mereka yang
tidak bersepatu terhindar dari bencana luka akibat menginjaknya.
Peribadatan yang muamalaat ini adalah Syariat yang tidak ketat,
sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang dan tidak
bertentangan dengan Nash. Dalam istilah populernya 'ibadah yang
mu'amalaat disebut 'ibadah yang non-ritual, yaitu cara, waktu, jumlah
dan tempat tidak ditentukan oleh Nash.
Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di masjid. Kalau pemakaian bedug
itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub
sistem dari peribadatan ubudiyyaat yang ketat. Jadi tidak boleh,
karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan
tetapi jika pemukulan bedug itu diniatkan hanya sebagai sarana untuk
interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk
dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang
dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Nabi hanya pernah
melarang pemakain lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah
dilarang, jadi bedug boleh dipakai. Karena Syari'at yang mu'amalaat
ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail
dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini
sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun
hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu
penggunaannya dibatasi oleh aturan-aturan pokok Syari'at Islam yang
muamalaat. Dalam Syariat yang mu'amalaat ini akal lebih bebas, yaitu
boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, apa hikmahnya,
sepanjang masalah itu terletak di luar ruang lingkup aturan-aturan
pokok Syari'at. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 Oktober 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/002-konfigura si-wahyu- akal-dan- naluri.html
============ ========= ========= ========= ========= ========= ====
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
003. Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal
Antara tumbuh-tumbuhan di pihak yang lain dengan manusia dan binatang
di pihak yang lain membentuk sistem yang dalam ungkapan bidal Melayu
lama berbunyi: Seperti aur dengan tebing, atau dalam ungkapan modern
yang canggih bunyinya: Mutualis simbiosis, suatu ekosistem saling
menghidupi dan menghidupkan. Aur yang tumbuh di tebing mendapat
zat-zat yang dibutuhkan tanaman untuk bertumbuh. Akar-akar aur menusuk
ke dalam tanah di tebing untuk dapat mengisap zat-zat yang
dibutuhkannya itu. Di pihak yang lain tebing mendapatkan manfaat dari
akar-akar rumpun aur, tebing menjadi kuat, tidak mudah terban (tidak
pakai g).
Untuk dapat hidup, manusia dan binatang harus mengisi perut, makan dan
minum dan mengisap udara, bernafas. Tujuan makan bukan untuk kenyang,
karena itu hanya sekadar kesan saja, melainkan makan pada hakekatnya
adalah mengisi tubuh dengan bahan bakar. Dan bernafas bukan hanya
sekadar menghirup udara segar supaya tidak mati lemas, melainkan
mengisi tubuh dengan oksigen dari udara. Di dalam tubuh manusia dan
binatang terjadilah reaksi kimia yang disebut oksidasi. Reaksi kimia
ini menimbulkan panas dan proses tersebut disebut respirasi.
Demikianlah tubuh manusia dan binatang menjadi panas, dan panas ini
dipertahankan suhunya oleh suatu sistem yang musykil dalam tubuh
manusia dan binatang, yaitu sistem pengatur suhu. Menarik nafas
artinya memasukkan oksigen ke dalam tubuh, sedangkan mengeluarkan
nafas artinya membuang sampah hasil pembakaran ke udara. Sebenarnya
yang dibuang ke udara itu pada hakekatnya hanya sejenis yang berupa
sampah dan yang lain tidak dipandang sampah. Yang pertama adalah
karbon dioksida, zat asam arang, CO2. Yang kedua adalah air dalam
bentuk uap. Air yang berasal dari mengeluarkan nafas ini dapat dilihat
jika kita ada di tempat dingin. Uap air itu mengembun di udara berupa
titik-titik air yang halus, kelihatannya seperti asap putih atau
kabut.
CO2 ayang dihasilkan/dikeluar kan dari tubuh manusia dan binatang
merupakan polutan, zat pencemar yang mencemarkan udara. Pencemaran
udara oleh CO2 ini bukan semata-mata dari manusia dan binatang saja,
melainkan, dan ini yang lebih banyak, berasal dari budak-budak tenaga,
energy slaves. Tidaklah berperi-kemanusiaan , jika manusia memperbudak
sesamanya manusia. Akan tetapi oleh karena pada dasarnya manusia suka
memperbudak, maka manusia memperbudak binatang, tenaga otot binatang
dimanfaatkan untuk bekerja. Setelah James Watt mendapatkan mesin uap,
maka manusia memproduksi budak-budak tenaga secara massal, yaitu
mesin-mesin yang dayanya lebih besar dari daya otot binatang. Dan
mesin-mesin ini menghasilkan CO2 jauh lebih banyak ketimbang CO2 yang
berasal dari manusia dan binatang. Sehingga sangat perlu sekali
dilaksanakan birth control terhadap budak-budak tenaga ini. Mengapa?
Oleh karena CO2 ini adalah zat pencemar yang menyebabkan terjadinya
pencemaran thermal, thermal pollution. Bumi jadi panas, suhunya naik,
es di kutub utara dan selatan mencair, air laut naik, maka terjadilah
banjir yang akan lebih hebat dari banjir di zaman Nabi Nuh AS. Dan
naiknya permukaan laut ini bukan teori omong kosong, betul-betul naik
menurut hasil intizhar atau observasi.
Mengapa CO2 itu menjadi penyebab pencemaran thermal, informasinya
seperti berikut: Lapisan udara yang mengandung CO2 yang banyak,
menyebabkan permukaan bumi ditutupi oleh lapisan CO2. Ini menyebabkan
terjadinya efek rumah kaca. Di tempat yang beriklim dingin, jika ingin
menanam buah-buahan dan sayur-sauran yang membutuhkan suhu yang lebih
tinggi dari suhu udara luar, maka buah-buahan dan sayur-sayuran itu
ditanam di dalam rumah kaca. Gelas atau kaca adalah zat bening,
radiasi matahari yang disebut photon gampang menerobos masuk. Photom
itu memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Getaran molekul
udra itu dipacu oleh photon itu, maka bertambah intensiflah getaran
molekul udara itu, yang membawa kesan fenomena naiknya suhu udara,
karena itulah udara bertambah panas. Kaca adalah penghantar panas yang
jelek. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Photon mudah
menerobos masuk, namun setelah tenaga radiasi itu sudah ditransfer
menjadi tenaga panas dalam rumah kaca, gelombang panas tidak/kurang
mampu menerobos keluar. Inilah efek rumah kaca. Juga CO2 adalah zat
bening mudah ditembus photon. Juga CO2 adalah zat pengantar panas yang
jelek. Maka terperangkaplah gelombang panas dalam ruang antara lapisan
CO2 dengan permukaan bumi, seperti halnya gelombang panas dalam rumah
kaca.
Demikianlah seriusnya gejala alam berupa naiknya suhu di permukaan
bumi ini, atau globalisasi thermal ini, maka Allah SWT memberikan
informasi kepada ummat manusia sejak lebih 14 abad yang lalu.
Berfirman Allah SWT dalam Al Quran, S. Yasin, ayat 80 sebagai berikut:
-- Alladzie ja'alalakum minasysyajari- lakhdhari naaran faidzaa antum
minu tuuqiduun. artinya: Yaitu Yang menjadikan bagimu api dalam (zat)
hijau pohon maka dengan itu kamu dapat membakar.
Sepintas lalu secara common sence, kita menjumpai pertentangan antara
akal dengan wahyu. Akal kita mengatakan, bahwa api itu atau yang
dibakar itu bukan dari pohon yang hijau, melainkan dari kayu-kayuan
dan daun-daunan yang kering berwarna coklat. Memang pepohonan hijau
dapat terbakar dalam bencana alam berupa kebakaran hutan, tetapi
penjelasan ini tidak relevan, karena ayat itu menjelaskan "kamu"
membakar, maksudnya dengan sengaja membakar. Kebakaran hutan terjadi
karena ketidak sengajaan.Ada kitab tafsir yang mencoba menjelaskan
bahwa ada sejenis pohon yang dapat dijadikan kayu bakar, walaupun
masih hijau. Tetapi akal kita mengatakan bahwa menurut qaidah bahasa
Arab, bentuk mudzakkar (laki-laki) asysyjaru-lakhdhar dalam ayat di
atas menunjuk kepada pohon secara keseluruhan, bukan hanya sekadar
sejenis pohon. Kalaulah yang dimaksud hanya sejenis, atau sebahagian
pohon, maka harus memakai bentuk muannats (perempuan), yaitu
asysyaratu-lkhadhra au. Jadi penafsiran dalam kitab tafsir trersebut
tidak/belum dapat memecahkan permasalahan adanya pertentangan antara
akal dengan wahyu. Ada yang menempuh pendekatan majazi (kiasan,
metaphor), yaitu hijau dimaknai dengan "subur".
Berangkat dari pendekatan majazi yakni hijau dimaknai dengan "subur",
maka tidak perlu ilmu bantu. Namun berangkat dari tekstual murni
Akhdhar (hijau) betul-betul hijau, maka bertolak dari tekstual murni
tsb ditempuhlah pendekatan kontekstual, yakni dalam konteks sains
(ilmu fisika, kimia, botani) dijadikan ilmu bantu. Para penganut
kelompok JIL sangat gandrung pendekatan kontekstual dan mengejek
"fundis" yang pakai pendekatan tekstual. Padahal, btw, the textual
approach, tends to view the phenomena merely on the level of core
element. On the other hand, the contextual approach reduces the
substantial element, for it tends to view the phenomena on the level
of periphery. As a matter of fact, methodologically speaking, this
combined-approach, the textual as well as the contextual approach
enables men to obtain the holistic picture of the phenomena and to
escape from its distorted-meaning.
Jadi masih ada upaya lain dengan paradigma seperti dijelaskan dalam
Seri 001, yaitu akal harus tunduk pada wahyu. Kalau terjadi
pertentangan antara akal dengan wahyu, maka akal harus mengalah.
Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, akal membutuhkan informasi
untuk berpikir. Akal harus mengalah kepada wahyu, oleh karena dalam
keadaan yang demikian itu adalah suatu isyarat bahwa akal membutuhkan
informasi yang lebih canggih untuk dapat merujuk akal itu kepada
wahyu. Dan informasi ini bersumber dari ilmu fisika, kimia, botani
dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan.
Reaksi thermonuklir di matahari mentransfer wujud tenaga nuklir
menjadi tenaga radiasi yang berwujud sinar gamma yang menembus ke
lapisan bagian luar dari matahari. Sinar gamma itu mengalami
penyusutan energi karena menembus lapisan matahari itu. Setelah sampai
di bagian luar sinar yang telah berdegradasi energinya itu dikenal
sebagai photon, lalu memancar ke sekeliling matahari, antara lain
menyiram permukaan bumi.
Tumbuh-tumbuhan dibangun oleh bahagian-bahagian kecil yang disebut
sel. Di dalam inti sel terdapat butir-butir pembawa zat warna. Yang
terpenting di antara butir-butir itu adalah pembawa zat warna hijau,
yang disebut khlorophyl, zat hijau daun (istilah ilmiyah dari bahasa
Yunani, Kholoros = hijau, Phyllon = daun). Khlorophyl ini menangkap
photon dari matahari dan mengubah wujud tenaga photon itu menjadi
tenaga potensial kimiawi dalam makanan dan bahan bakar hidrokarbon di
dalam molekul-molekul melalui proses photosynthesis. Dalam proses
photosynthesis oleh khlorophyl ini dari bahan baku CO2 dan air dan
photon, dihasilkan makanan dan bahan bakar hidrokarbon dan oksigen.
Selanjutnya melalui proses respirasi dalam tubuh manusia dan binatang
dan budak-budak tenaga, makanan dan bahan bakar itu dengan oksigen
dari udara berubahlah pula menjadi CO2 dan air. Demikianlah sterusnya
daur atau siklus itu berlangsung. Photosynthesis - CO2 dan air -
respirasi - makanan, bahan bakar, dan oksigen. Jadi tumbuh-tumbuhan
mengambil CO2 dan mengeluarkan oksigen. Sebaliknya manusia dan
binatang mengambil oksigen dan mengeluarkan CO2.
Secara gampangnya asysyajaru-lakhdhar itu adalah pabrik makanan /
bahan bakar dan oksigen. Bahan mentahnya adalah air dan CO2. Mesin
pabrik adalah photon dan proses dalam pabrik yang mengolah air dan CO2
menjadi makanan / bahan bakar dan oksigen disebut proses
photosynthesis (sintesa atau penyusunan oleh photon). Makanan dibakar
dengan oksigen dalam tubuh manusia, oksigen dihisap dari udara,
demikian pula bahan bakar dibakar dengan oksigen dalam mesin-mesin
pabrik. Oksigen disedot dari udara. Itulah ma'na
minasysyajari- lakhdhari naaran faidzaa antum minhu tuuqiduun.
Demikianlah ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi
tumbuh-tumbuhan membantu kita untuk dapat memahami S. Yasin, ayat 80
dengan baik, memberikan informasi yang cukup bagi akal kita, sehingga
menghilangkan pertentangan antara akal dengan wahyu.
Alhasil, jika informasi itu cukup lengkap bagi akal, akan hilanglah
pertentangan antara akal dengan wahyu. Pemakaian istilah
asysyjaru-lakhdhar, zat hijau pohon dalam Al Quran lebih tepat dari
istilah ilmiyah khlorophyl, zat hijau daun, oleh karena zat tersebut
bukan hanya terdapat dalam daun saja, melainkan pada seluruh bagian
pohon asal masih berwarna hijau, mulai akar yang tersembul asal masih
hijau, dari batang asal masih hijau, cabang asal masih hijau, ranting,
daun, sampai ke pucuk serta buah yang masih hijau.
Dari S. Yasin, ayat 80 itu, dengan penjelasan berupa informasi dari
ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan
sebagai ilmu bantu untuk dapat mengerti wahyu dengan baik dan jelas,
dapatlah kita lihat bagaimana pentingnya hutan. Bukan hanya sekadar
mengendalikan air di dalam tanah dan permukaan bumi, tidak banjir di
musim hujan dan tidak kering di musim kemarau. Akan tetapi, dan ini
yang lebih penting, adalah untuk terjadinya daur: tumbuh-tumbuhan
penghasil oksigen, yang membutuhkan CO2 - manusia dan binatang
penghasil CO2, yang membutuhkan oksigen. Maka terjadilah seperti yang
diungkapkan oleh bidal Melayu lama: seperti aur dengan tebing,
mutualis simbiosis.
Demikianlah uraian interaksi iman dan ilmu dalam ruang lingkup daur
CO2 dan oksigen dalam pengetahuan lingkungan khusus globalisasi
pencemaran thermal dan pentingnya hutan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 November 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/003-interaksi -iman-dan- ilmu-pencemaran. html
============ ========= ========= ========= ===
BISMILLA-HIRRHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
419. Pandangan Marxisme Tentang Moral
Materialisme adalah buah pikiran yang bertitik tolak dari pangkal
kepercayaan bahwa tidak ada realitas di luar materi. Semua buah
pikiran materialisme, termasuk versi marxisme, bertujuan untuk
mengejar tercapainya hasrat kepuasan kehidupan bersifat materi.
Keadilan, kejujuran, kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan semua
nilai moral yang lain dipertahankan bukan karena nilai-nilai yang
luhur itu an sich, melainkan hanya karena nilai-nilai itu kelihatannya
memberikan kontribusi dalam hal efisiensi bagi hasrat tercapainya
kesenangan dan keamanan dalam kehidupan yang bersifat materi. Artinya
moral dalam pandangan materialisme tidak lain hanyalah produk
sampingan belaka.
Dengan mengaplikasikan proses dialektis, Karl Marx dalam bukunya A
Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan bahwa
ragam (mode) dari produksi dalam kehidupan bersifat materi menentukan
proses kehidupan politik, sosial- ekonomi dan intelektual. Manusia
tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena
sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan
ukuran etis sebagai barang-jadi. Bukanlah kesadaran moralitas manusia
yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem
sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang
harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem
sosial-ekonomi. Oleh karena masyarakat bergerak dalam irama
pertentangan kelas, maka moralitas itu senantiasa berupa moralitas
kelas. Singkat kata moral manusia ditentukan oleh sistem
sosial-ekonomi.
Syahdan, kita akan uliti buah pikiran marxisme yang berspekulasi bahwa
moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi. Marilah kita
perhadapkan spekulasi Marx ini pada sejarah Yunani Kuno, pada zaman
"negara kota" (city states). Dalam rentang waktu dari 725 SM. hingga
325 SM. tiga negara kota, yaitu Corinth, Sparta dan Athene menghadapi
sistem sosial-ekonomi yang sama, yaitu surplus penduduk. Jika
benarlah teori "ilmiyah" Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan memilih, oleh karena sistem sosial-ekonomilah yang
menentukan kesadaran moralitas dan kehidupan intelektual manusia, maka
niscaya ketiga negara kota itu akan menempuh pula upaya yang sama,
karena mempunyai sistem moral yang sama, yang dibentuk oleh sistem
sosial-ekonomi yang sama.
Namun sejarah berkata lain. Corinth emecahkan masalah surplus
penduduknya dengan emigrasi, mencari daerah pertanian ke seberang laut
di Siqiliyah (Sicily), Italia selatan, Thrace dll, di mana daerah
kolonisasi itu jarang penduduknya, atau penduduknya terlalu lemah
untuk dapat membendung invasi emigran dari Corinth itu. Koloni-koloni
Yunani itu memperluas daerah georgafis dari masyarakat Yunani tanpa
mengubah watak, sehingga pada hakekatnya merupakan reproduksi
kebudayaan (baca: sistem moral) dari negeri asalnya. Sparta menempuh
cara lain, yaitu menaklukkan negeri-negeri tetangganya seperti
Messene, dan untuk memelihara kekuasaannya atas negeri-negeri
taklukannya itu Sparta menjadi negara militer dalam arti struktur
organisasi dan SDM. Seluruh penduduknya dibina berwatak militer dari
atas sampai ke bawah. Caranya ialah dengan jalan menempa anak-anak di
dalam barak-barak militer, bahkan bayi-bayi yang dianggap kondisi
tubuhnya tidak mampu nanti menjadi militer, dibuang ke jurang-jurang.
Athene menempuh cara lain pula, yaitu dengan jalan pengkhususan
produksi pertanian untuk ekspor. Athene menempuh perbaikan sistem
sosial-ekonomi dengan jalan perdagangan. Athene mengalami zaman
keemasan di bawah Pericles. Kemajuan arsitektur memperindah Athene.
Kota ini menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan, serta kesenian dan
kesusatraan maju dengan pesat.
Alhasil, buah pikiran Marx bahwa moral sudah merupakan "barang jadi"
yang ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi digugurkan oleh sejarah
ketiga negara kota Yunani Kuno itu. Sistem moral ketiga kota itu
bukanlah produk dari sistem sosial-ekonomi yang surplus penduduknya.
Sebaliknya sistem moral yang berbeda menghasilkan perubahan sistem
sosial-ekonomi yang berbeda pula dari ketiga kota itu, Corinth, Sparta
dan Athene seperti yang telah ditunjukkan di atas. Alhasil sejarah
Yunani Kuno menunjukkan bahwa bukanlah sistem sosial-ekonomi yang
selalu menentukan moral, tetapi dapat pula sebaliknya, sistem
morallah yang mengubah wajah sistem sosial-ekonomi.
Karl Marx mengkritik filosof yang hanya mengkaji saja. Marx
berpendirian tidak cukup mengkaji saja, melainkan hasil kajian itu
harus dipakai untuk mengubah masa depan. Sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan nasional dalam alinea ke-4,
bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, maka
perlu sekali negara menghabisi upaya revolusioner kaum komunis yang
ingin mengubah masa depan Indonesia berpedomankan marxisme. Itulah
guna dan pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/ 1966.
Dalam mengkaji masa lalu Abad Pertengahan di kontinen Eropa, Marx
melakukan dua kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, yaitu kecerobohan
generalisasi. Bahwa apa yang terjadi di Eropa di Abad Pertengahan itu
Marx mengira berlaku di segala tempat dari dahulu hingga yang akan
datang. Kedua, kesalahan prinsipiel, yaitu kekafiran (atheisme),
menolak realitas di luar materi. Ada moralitas yang tidak bersumber
dari akar sejarah, melainkan bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq
yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi
adalah taqwa. Ketaqwaan memegang peranan yang sangat penting dalam
mengkaji masa lalu. Orang yang berpikiran jernih akan mengatakan bahwa
perombakan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan
oleh ajaran akhlaq dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh
Nabi Muhammad SAW. Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu
untuk hari esok. Firman Allah SWT dalam ayat yang berikut mengapit
perintah mengkaji itu dengan perintah taqwa:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH
(S. ALHSYR, 59:18), dibaca:
-- Ya-ayyuhal adzi-na a-manut taquLla-ha waltanzhur nafsum ma-
qaddamat lighadiw wa taquLla-ha (59:18), artinya:
-- Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang
mengkaji masa lalu untuk masa depan, dan taqwalah kepada Allah (s.
berkumpul). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 16 April 2000
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2000/ 04/419-pandangan -marxisme- tentang-moral. html
############ ######### ######### ######### ######### ######### #
--- Pada Sen, 8/9/08, Ulil Abshar-Abdalla
Hidup bisa teratur hanya dengan agama? -- Surat kepada seorang kawan
Hamid yang baik,
BETULKAH kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah
kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib
dengan hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan
akal, pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka
sendiri?
Apakah jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya
melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama
sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan
manusia?
Beberapa kalangan dalam agama, terutama Islam, mengajukan sebuah
logika yang menarik. Bukankah, tanya mereka, Tuhan lebih tahu
tinimbang manusia? Bukankah Tuhan Maha Tahu tentang segala-galanya?
Dengan demikian, bukankah hukum-hukum dan peraturan yang diberikan
oleh Tuhan lebih baik ketimbang hukum yang dibuat manusia sendiri?
Sejak lama saya beregelut dengan pertanyaan ini, dan perkenankan saya
mengajukan sebuah refleksi berikut ini. Jawaban saya ini mungkin saja
terasa "keras" di telinga sebagian kalangan beragama; tetapi saya
harus mengatakannya. Sekurang-kurangnya apa yang saya sampaikan ini
bisa menjadi semacam "pengimbang" bagi pendapat yang umum diikuti oleh
umat Islam saat ini.
Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan: sama sekali tidak benar
bahwa jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan hidup secara
etis hanya melalui agama. Seseorang yang tak memeluk agama apapun di
dunia ini bisa menjadi manusia yang baik dan hidup secara bermoral.
Bahkan dalam pandangan sebagian kaum Mu'tazilah, kelompok rasionalis
yang sudah lahir dalam sejarah Islam sejak seribu tahun lebih yang
lalu, sumber moralitas pertama-tama adalah akal manusia. Wahyu hanya
datang belakangan untuk mengkonfirmasi moralitas yang sudah diketahui
oleh akal manusia itu.
Saya duga orang beragama memiliki asumsi tersembunyi: jika seseorang
tak mengikuti ajaran agama apapun, alias agnostik atau ateis, yang
bersangkutan akan menjadi orang yang secara moral bejat. Misalnya:
yang bersangkutan suka mencuri harta orang lain, menyetubuhi setiap
perempuan yang ia jumpai di jalan secara seenaknya seperti binatang,
mengganggu orang lain tanpa peduli, membunuhi manusia seenak udelnya
sendiri, dsb.
Walhasil, orang yang tak beragama atau anti-agama akan dengan
sendirinya bertingkah-laku seenaknya tanpa ikatakan apapun.
Asumsi seperti ini, mohon maaf, adalah asumsi yang bodoh sekali dan
tak melihat dunia sekitar. Orang beragama pura-pura tak tahu bahwa
tanpa dalil-dalil agama sekalipun, manusia menciptakan aturan yang
kompleks untuk mengatur kehidupan mereka agar tidak kacau. Ribuan
hukum diciptakan di dunia ini tanpa keterlibatan agama atau wahyu.
Ambillah contoh yang sangat sederhana dari kehidupan modern sekarang.
Setelah ditemukannya pesawat terbang oleh Wilbur dan Orville Right
pada 1903, muncullah konvensi, hukum, dan peraturan internasional yang
sengaja diciptakan untuk menjamin tegaknya industri penerbangan yang
akan menjaga keselamatan penumpang.
Di bawah PBB, misalnya, ada sebuah lembaga yang bertanggung jawab
untuk mengeluarkan sejumah regulasi dan "code of conduct" dalam
penerbangan internasional, yaitu ICAO (International Civil Aviation
Organization) yang bermarkas di Montreal, Kanada.
Berdasarkan hukum dan regulasi internasional inilah, misalnya, Uni
Eropa melarang perusahaan penerbangan nasional kita, Garuda, untuk
memasuki wilayah Eropa. Larangan ini juga berlaku untuk beberapa
penerbangan dari negeri-negeri lain, seperti Angola. Uni Eropa
mengeluarkan larangan ini pada bulan Juni 2008 yang lalu dan berlaku
efektif sejak 6 Juli 2008.
Hukum dan peraturan itu sama sekali tidak lahir dari agama, dan
ditulis bukan dengan merujuk pada ayat-ayat Kitab Suci agama tertentu.
Tokoh-tokoh agama sama sekali tak terlibat sedikitpun dalam perumusan
dan pembuatan peraturan ini. Tak ada seorang fikih pun yang terlibat
di sini, sebab saat fikih ditulis oleh ulama Islam ratusan tahun yang
lalu, teknologi dan industri penerbangan belum muncul.
Jika anda mengelola perusahaan penerbangan, maka yang disebut "hidup
bermoral" dalam konteks usaha anda itu adalah mengikuti peraturan
internasional dalam bidang penerbangan itu. Semua orang, baik beragama
atau tidak, diikat oleh moralitas tersebut. Jia ia melanggar moralitas
itu, ia akan dikeluarkan dari komunitas penerbangan internasional,
sebab akan membahayakan keselamatan penumpang.
Taruhlah ada seorang pilot yang kebetulan juga seorang agnostik atau
ateis yang tak percaya pada agama apapun, apakah dia langsung akan
menyetir pesawat terbang dengan seenaknya saja tanpa mengikuti
peraturan internasional? Kan tidak toh?
Ribuan peraturan dan "code of conduct" diciptakan oleh manusia modern
untuk membuat hidup mereka teratur. Peraturan ini dibuat tanpa merujuk
sedikitpun pada ajaran agama. Peraturan ini bisa kita temukan dalam
semua bidang kehidupan manusia modern.
Kalau anda hidup di Amerika dan kebetulan anda adalah penggemar
mancing-memancing, anda akan menjumpai aturan yang begitu ketat sampai
ke hal yang sederhana itu. Anda, misalnya, tak boleh memancing ikan
yang beratnya kurang dari standar tertentu yang ditentukan oleh hukum
negara bagian setempat.
Apakah aturan memancing itu dibuat manusia dengan merujuk pada
ayat-ayat dalam Kitab Suci agama tertentu? Jelas tidak. Aturan ini
dibuat semata-mata karena pertimbangan kepentingan umum, karena akal
manusia menghendaki kehidupan yang baik.
Contoh sederhana ini bisa diperluas ke bidang-bidang lain. Intinya:
moralitas agama memang memainkan peranan dalam mengatur kehidupan
manusia dalam batas-batas tertentu; tetapi untuk sebagian besar,
kehidupan manusia diatur oleh hukum dan peraturan sekuler yang dibuat
oleh manusia sendiri tanpa merujuk pada agama. Peraturan agama
hanyalah setitik saja di tengah "lautan" aturan yang dibuat oleh
manusia.
Lihatlah parlemen negeri-negeri demokrasi di seluruh dunia yang
memproduksi ribuan hukum setiap tahun guna mengatur kehidupan manusia
agar tertib, agar hak-hak seseorang tidak dilanggar oleh orang lain.
Khazanah fikih Islam tak ada apa-apanya dibanding dengan khazanah
hukum sekuler yang terus berkembang makin kompleks itu. Khazanah hukum
sekuler jauh lebih kaya ketimbang hukum agama manapun, termasuk Islam.
Orang beragama terlalu "ge-er" sekali manakala beranggapan bahwa tanpa
aturan agama, hidup manusia akan kacau-balau. Mereka beranggapan bahwa
manusia begitu jahatnya sehingga kalau tak diatur oleh hukum agama
akan menjadi binatang buas. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, asumsi
ini salah besar. Manusia, dengan atau tanpa agama, akan menciptakan
aturan-aturan yang kompleks untuk membuat hidupnya teratur.
Salah satu cara yang mudah untuk mengetahui apakah manusia hidup
teratur atau tidak sangatlah sederhana, yaitu apakah ia mengikuti
hukum atau tidak. Makin masyarakat menjadi "law abiding society",
masyarakat yang taat hukum, maka makin tertib dan teratur pula
masyarakat itu. Sekarang kita lihat sendiri, mana masyarakat yang
paling tertib karena taat hukum, karena hukum ditegakkan dengan baik:
apakah masyarakat sekuler seperti kita lihat di negeri-negeri Barat,
atau masyarakat religius, misalnya, di negeri Muslim?
Marilah kita lihat dengan sederhana saja soal lalu-lintas di kota
sebuah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu
Jakarta. Bandingkan saja kota Jakarta dengan kota di sebuah negeri
sekuler, taruhlah kota New York yang tak kalah padat dengan Jakarta.
Dari dua kota itu, mana yang lebih teratur?
Sudah tentu tidak semua kota di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim
kacau balau seperti Jakarta, Islamabad, Karachi atau Kairo. Kuala
Lumpur, misalnya, sangat teratur dan tak kalah dengan kota-kota di
negeri maju yang lain. Tetapi jika kita tengok gambar secara umum,
kota-kota negeri-negeri yang maju di Eropa yang sekuler itu jauh lebih
indah, teratur, taat hukum, dan relatif terkontrol tingkat polusinya
ketimbang kota-kota di negeri-negeri Muslim.
Saya akan bertanya kepada umat beragama, terutama Islam: apakah kota
negeri-negeri sekuler kacau balau dan kehidupan masyarakat di sana
hancur berantakan karena mereka tak mengikuti hukum agama?
Ada salah paham yang berkembang luas di kalangan sebagian kalangan
Islam, yaitu bahwa liberalisme sama saja dengan hidup bebas tanpa
aturan (tentu maksudnya aturan agama). Pandangan semacam ini hanya
bisa dipercaya oleh orang-orang yang tak mempelajari dengan baik
bagaimana praktek sosial dalam masyarakat liberal.
Kalau kita tengok negeri-negeri dengan tradisi demokrasi-liberal yang
mapan, kita akan tahu bahwa di sana hukum jauh lebih ditegakkan
ketimbang di negeri-negeri otoriter (termasuk di dalamnya
negeri-negeri Islam sendiri).
Mereka yang hidup di negeri-negeri seperti itu akan tahu bagaimana
ketatnya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sekedar gambaran
sederhana: jika anda hidup di Amerika Serikat, lalu tengah malam
tetangga anda melakukan keributan yang mengganggu tidur anda, maka
anda bisa menelpon 911 dan memanggil polisi untuk mengingatkan
tetangga anda itu.
Jika anda mengendarai mobil, anda tak bisa memarkir di sembarang
tempat. Jika anda memarkir mobil yang disediakan untuk orang-orang
"dis-abled" (orang cacat, maaf memakai istilah ini), anda bisa terkena
denda yang sangat besar, sekitar US $200 (hampir dua juta rupiah).
Kehidupan sosial begitu tertib di negeri-negeri liberal yang maju,
persis karena adanya "rule of law". Kebalikan dari pandangan sebagian
kalangan Islam selama ini, negara demokrasi-liberal adalah sebuah
negara dengan ciri-ciri tertentu, antara lain "rule of law", artinya
kedaulatan hukum, bukan negeri yang bebas dari hukum.
Perbedaan mendasar antara negara demokrasi-liberal denga negeri
syariat seperti dikehendaki oleh sebagian kalangan Islam adalah
sebagai berikut. Dalam negara demokrasi-liberal, hukum dibuat
berdasarkan proses politik yang disebut dengan "deliberasi publik",
atau perdebatan publik. Sebelum sebuah hukum ditetapkan oleh parleman
melalui proses yang disebut "enactment", ia harus diuji terlebih dulu
melalui perdebatan publik.
Ini berbeda dengan hukum syariat yang dirumuskan secara "sepihak" oleh
oligarki sarjana ahli hukum agama (disebut dengan "fuqaha", bentuk
jamak dari kata "faqih"). Hukum syariat seperti kita kenal dalam Islam
mempunyai ciri khas yang lebih elitis ketimbang hukum sekuler dalam
negara demokrasi modern.
Beda yang lain: hukum sekuler bisa dipersoalkan dan diperdebatkan
tanpa yang bersangkutan khawatir dituduh kafir atau murtad. Ini
berbeda dengan hukum syariat yang mengkleim berasal dari Tuhan
sehingga siapa saja yang mencoba mempersoalkannya bisa terkena tuduhan
kafir. Hukum syariat rentan menjadi lahan subur untuk tumbuhnya
otoritarianisme politik (meskipun tidak selalu demikian), persis
karena kleimnya
sebagai "hukum suci" yang secara umum tak boleh diperdebatkan,
terutama aspek-aspek di sana yang dianggap "qath'i" atau pasti.
MASALAH yang selalu menghantui pikiran orang beragama, terutama Islam,
adalah masalah seks dan perempuan. Orang beragama berasumsi bahwa
tanpa hukum dan moralitas agama, kehidupan seksual manusia akan kacau
balau. Apakah asumsi ini benar?
Saya khawatir, umat Islam diam-diam mempunyai anggapan bahwa jika
perempuan tak memakai pakaian yang menutup aurat, maka dia akan
dimangsa oleh laki-laki, seperti ayam betina dimangsa oleh ayam jago
di sembarang tempat.
Sementara itu, aurat perempuan, menurut hukum Islam yang "standar",
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan
demikian, perempuan yang berpakaian sopan dan rapi tetapi tidak
menutup seluruh tubuhnya (misalnya rambutnya masih tampak kelihatan),
dia dianggap sebagai tak menutup aurat. Seorang imam dari Australia
yang berasal dari Mesir pernah melontarkan statemen beberapa waktu
lalu bahwa seorang perempuan yang tak menutup seluruh tubuhya,
"head-to-toe" , sama dengan daging yang tak ditutup. Maksudnya, rawan
dirubung "lalat".
Mari kita tinjau sekali lagi fakta-fakta empiris di lapangan. Apakah
betul demikian?
Tengok saja kehidupan sehari-hari di kota Jakarta, tak usah terlalu
jauh ke negeri normal seperti Amerika atau Eropa Barat. Lihatlah para
perempuan yang bekerja di kantor-kantor, baik pemerintah atau swasta.
Sebagian besar mereka mamakai baju biasa, bukan baju penutup aurat
seperti dikehendaki oleh hukum Islam. Apakah perempuan-perempuan itu
langsung menjadi "mangsa" laki-laki? Apakah kehidupan seksual manusia
Jakarta langsung kacau-balau?
Meskipun tingkat keamanan di kota Jakarta tak sebaik di Boston,
misalnya, tetapi kita menyaksikan sendiri bagaimana perempuan bisa
berjalan dengan aman di tempat-tempat umum, walaupun tak memakai baju
yang menutup seluruh aurat. Memang ada insiden di sana-sini, misalnya
pemerkosaan. Tetapi secara umum, ruang publik di kota Jakarta dan
kota-kota lain sangat aman bagi perempuan, walaupun mereka tak memakai
pakaian yang sesuai dengan tuntutan hukum Islam mengenai aurat.
Saya sudah pernah menulis bahwa asumsi sebagian umat Islam begitu
buruknya sehingga memandang laki-laki seolah-olah sebagai "binatang
buas" yang haus seks, seolah-olah jika melihat perempuan yang tak
menutup aurat akan langsung menerkamnya dan ingin bersetubuh dengannya
"on the spot". Sebegitu burukkah asumsi umat beragama yang konon
menganggap manusia sebagai "citra Tuhan", imago Dei (dalam Quran
ditegaskan "tsumma sawwahu wa nafakha fihi min ruhihi" QS 32:9)?
Jangan salah paham. Isteri saya memakai jilbab, karena, berdasarkan
tradisi di mana ia tumbuh, jilbab dianggap sebagai pakaian yang bisa
menjaga martabat perempuan. Tetapi isteri saya tidak menganggap bahwa
pakaian-pakaian lain di luar jilbab tidak bisa menjaga kehormatan
perempuan dan kepantasan publik.
DENGAN menulis ini semua bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap
seorang Muslim. Tetapi saya mencoba menjadi seorang beragama yang
rendah hati. Saya beragama, tetapi tak menganggap bahwa agama adalah
satu-satunya jalan menuju kehidupan yang tertib. Oleh karena itu, saya
menghormati orang-orang yang agnostik dan ateis, dan tak beranggapan
bahwa manusia yang agnostik akan dengan sendirinya menjadi manusia
bejat.
Saya berteman dengan banyak orang-orang yang agnostik: mereka tak
kalah humanisnya dengan manusia beragama. Mereka manusia yang
bermartabat dan menghormati manusia lain. Bahkan dalam banyak hal,
mereka jauh lebih humanis ketimbang manusia beragama.
Bagaimana anda bisa menjelaskan tingkah-laku orang yang konon beragama
tetapi menyerang secara fisik, membunuhi, dan mempersekusi orang-orang
yang berbeda pandangan dan keyakinan seperti dilakukan oleh
orang-orang beragama, sebagaimana kita baca dalam sejarah Kristen dan
Islam selama ini?
Yang menarik, hanya di negeri sekulerlah semua agama dan sekte dijamin
dengan bebas. Semua sekte dan mazhab bisa mekar dengan bebas di tanah
Amerika, misalnya. Sementara di negeri-negeri yang konon "relijius"
seperti Indonesia, hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah, misalnya,
justru ditindas dengan seenaknya oleh orang-orang yang mengaku
beragama.
Saya harus menambahkan catatan sebagai "caveat" untuk surat saya ini.
Istilah "agama" di sini saya pakai dalam konteks yang terbatas, yaitu
agama sebagaimana ditafsirkan oleh orang-orang bigot, fanatik, dan
totaliter.
Saya ingin menutup surat ini dengan mengatakan bahwa setiap bentuk
"bigotry", fanatisme, dan totalitarianisme adalah jahat dan berlawanan
dengan akal sehat manusia, entah sumbernya dari agama atau non-agama.
Totalitarianisme dan fanatisme agama sama saja bahanya dengan
totalitarianisme sekuler seperti dipraktekkan oleh Nazi dan sistem
totaliter di Uni Soviet dulu. Di mata saya, kaum bigot dan totaliter
di mana-mana sama saja: mereka adalah ancaman bagi manusia.
Mohon maaf jika surat saya ini terlalu berkepanjangan dan membosankan.
Ulil Abshar Abdalla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar